BUKITTINGGI ville de Sumatra Ouest (INDONÉSIE)
Publié le 24 avril 2009 par Fouchardphotographe @fouchardphoto
Bukittinggi ("haute colline" en malais) est la
deuxième ville de la province indonésienne de Sumatra Ouest. Sa
population est de 91 000 habitants et sa superficie de 25,24
km².
La ville est située dans les hautes terres du pays Minangkabau, à
90 km au nord-est de Padang, la capitale provinciale, au pied des
volcans Singgalang (inactif) et Merapi (toujours actif). A 930 m au
dessus du niveau de la mer, la ville a un climat relativement
frais, avec une température entre 16,1° et 24,9°C.
Administrativement, Bukittinggi a le statut de kota. La ville est
divisée en 3 kecamatan (districts) sur lesquels sont répartis 5
nagari (villages traditionnels) d'origine.
Histoire
En 1825, en pleine guerre des Padri, les Hollandais fondent Fort de
Kock en haut d'une colline, lui donnant le nom du
gouverneur-général des Indes néerlandaises de l'époque, Hendrik
Merkus de Kock[1].
Une route reliant le fort à la côte ouest de Sumatra est construite
de 1833 à 1841, passant par la gorge d'Anai, pour faciliter les
mouvements de troupes[2]. En 1856, les Hollandais y créent une
école normale d'instituteurs (kweekschool), la première à Sumatra,
dans le cadre d'une politique d'éducation de la population
locale[3]. Une voie ferrée est construite de 1891 à 1894, reliant
Bukittinggi à Padang[4].
Pendant la Seconde Guerre Mondiale, la ville était le quartier
général de la 25ème Armée japonaise, qui occupait Sumatra[5].
Durant la révolution indonésienne, Bukittinggi abrite le
"gouvernement d'urgence de la République d'Indonésie (Pemerintah
Darurat Republik Indonesia ou PDRI) de décembre 1948 à juillet
1949. Les troupes hollandaises occupent la ville lors de leur
seconde "action de police" en décembre 1948, après un bombardement
de préparation. Les Hollandais rendent la ville à la république
dans le cadre du transfert formel de souveraineté en décembre
1949[6].
La ville est officiellement rebaptisée Bukittinggi en 1949.
En février 1958, un mouvement d'opposition au gouvernement central
de Jakarta proclame un "gouvernement révolutionnaire de la
République d'Indonésie" (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
ou PRRI) à Bukittinggi. La ville est reprise par les troupes
gouvernementales en mai de la même année.
Bukittinggi est une destination appréciée des "routards" européens
en route depuis le lac Toba dans le nord de Sumatra vers Java en
passant par la côte ouest de Sumatra.
Dans les environs, on peut visiter notamment le canyon de Sianok,
le lac Maninjau et la vallée de Harau.
Kota Bukittinggi adalah salah satu kota di
Sumatera Barat, Indonesia. Kota ini memiliki luas wilayah 25,24 km²
dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 100.000 jiwa. Letaknya
sekitar 2 jam perjalanan lewat darat (90 km) dari ibukota provinsi
Padang. Bukittinggi dikelilingi tiga gunung berapi yaitu Gunung
Singgalang, Gunung Marapi dan Gunung Sago.
Kota yang merupakan kota kelahiran Bung Hatta, adalah sebuah kota
budaya di Sumatera Barat dan terkenal dengan Jam Gadang yang
merupakan simbol kota Bukittinggi.
Selain memiliki potensi objek wisata, kota berhawa sejuk ini
merupakan salah satu daerah tujuan utama dalam bidang perdagangan
di pulau Sumatera. Bukittinggi telah lama dikenal sebagai pusat
penjualan konveksi yang tepatnya berada di Pasar aur kuning.
Sejarah
Semasa pemerintahan Belanda, Bukittinggi selalu ditingkatkan
perannya dalam ketatanegaraan, dari apa yang dinamakan Gemetelyk
Resort berdasarkan Stbl tahun 1828. Belanda telah mendirikan kubu
pertahanannya pada tahun 1825, yang sampai sekarang kubu pertahanan
tersebut masih ada dam dikenal sebagai Benteng Fort De Kock. Kota
ini telah digunakan juga oleh Belanda sebagai tempat peristirahatan
opsir-opsir yang berada di wilayah jajahannya.[1]
Pada masa pemerintahan Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat
pengendalian pemerintah militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan
sampai ke Singapura dan Thailand, karena disini berkedudukan
komandan Militer ke 25. Pada masa ini Bukittinggi berganti nama
dari Taddsgemente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang
daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari Sianok, Gadut,
Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah yang sekarang
kesemuanya itu kini berada dalam daerah Kabupaten Agam, di Kota ini
pulalah bala tentara Jepang mendirikan pemancar radio terbesar
untuk pulau Sumatera dalam rangka mengibarkan semangat rakyat untuk
menunjang kepentingan perang Asia Timur Raya versi Jepang.[1]
Pada masa perjuangan kemerdekaan RI, Bukitinggi berperan sebagai
kota perjuangan. Dari bulan Desember 1948 sampai dengan bulan Juni
1949, Bukittinggi ditunjuk sebagai ibukota Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia ( PDRI ), setelah Yogyakarta jatuh ke tangan
Belanda. Selanjutnya Bukittinggi pernah menjadi ibukota propinsi
Sumatera dengan gubernurnya Mr. Tengku Muhammad Hasan. Kemudian
dalam PP Pengganti undang-undang No. 4 tahun 1959, Bukittinggi
ditetapkan sebagai ibukota Sumatera Tengah yang meliputi
keresidenan-keresidenan Sumatera Barat, Jambi dan Riau yang
sekarang masing-masing keresidenan itu telah menjadi provinsi
sendiri.[1]
Geografi
Secara geografis Bukittinggi terletak antara 100,210 –
100,250 derajat bujur timur dan antara 00.760 – 00,190
derajat lintang selatan dengan ketinggian 909 – 941 meter
diatas permukaan laut, berudara sejuk dengan suhu berkisar antara
min 16,10 – 24,90 max.[1]
Pariwisata
Bukittinggi memiliki julukan sebagai "kota wisata" karena banyaknya
objek wisata yang terdapat di kota ini. Lembah Ngarai Sianok
merupakan salah satu objek wisata utama. Taman Panorama yang
terletak di dalam kota Bukittinggi memungkinkan wisatawan untuk
melihat keindahan pemandangan Ngarai Sianok. Di dalam Taman
Panorama juga terdapat gua bekas persembunyian tentara Jepang
sewaktu Perang Dunia II yang disebut sebagai 'Lobang Jepang'.
Di Taman Bundo Kanduang terdapat replika Rumah Gadang yang
berfungsi sebagai museum kebudayaan Minangkabau, kebun binatang dan
benteng Fort de Kock yang dihubungkan oleh jembatan penyeberangan
yang disebut Jembatan Limpapeh. Jembatan penyeberangan Limpapeh
berada di atas Jalan A. Yani yang merupakan jalan utama di kota
Bukittinggi
Pasar Atas berada berdekatan dengan Jam Gadang yang merupakan pusat
keramaian kota. Di dalam Pasar Atas yang selalu ramai terdapat
banyak penjual kerajinan bordir dan makanan kecil oleh-oleh khas
Sumatera Barat seperti Keripik Sanjai yang terbuat dari singkong,
serta Kerupuk Jangek (Kerupuk Kulit) yang terbuat dari kulit sapi
atau kerbau dan [Karak Kaliang]], sejenis makanan kecil khas
Bukittinggi yang berbentuk seperti angka 8.
Danau Maninjau terletak sekitar 36 km atau sekitar 45 menit
perjalanan dengan mobil dari kota Bukittinggi. Secara geografis,
Bukittinggi, terdiri dari bukit-bukit. Oleh sebab itu jalanya
mendaki dan menurun, berdsarkan bukit itulah kemudian, pemerintahan
dibagi (sebelum Orde Baru memecahnya ke dalam Kelurahan), ke dalam
5 jorong (Guguak Panjang, Mandiangin Koto Selayan, Bukit Apik Pintu
Kabun, Aua Birugo, dan Tigo Baleh).
Dan pada saat ini juga telah dibangun pusat perbelanjaan modern di
bukittinggi.
Hotel-hotel yang terdapat di kota Bukittinggi antara The Hills
(sebelumnya Novotel), Hotel Pusako, dan hotel-hotel
lainnya.
1. ↑ Domenig, Gaudenz; Nas, P; Schefold, Reimar
(2004). Indonesian Houses. National University of Singapore Press.
ISBN 9971692929.
2. ↑ Freek Colombijn, « A Moving History of
Middle Sumatra, 1600–1870 », dans Modern Asian Studies, vol.
39, no 1, 2005, p. 1-38 [lien DOI [archive]]
3. ↑ Aritonang, Jan S. (1994). Mission Schools in
Batakland (Indonesia), 1861-1940. BRILL. ISBN 9004099670.
4. ↑ Krishnamurti, Indra, « History of Railways
in Indonesia [archive] », 2004-12-09. Consulté le 2007-10-03
5. ↑ Audrey Kahin, « Some preliminary
observations on West Sumatra during the revolution », dans
Indonesia, vol. 18, no Oct, 1974, p. 76-117 [lien DOI
[archive]]
6. ↑ Kahin, Audrey (1999). Rebellion to
Integration: West Sumatra and the Indonesian Polity. Amsterdam
University Press. ISBN 9053563954.
http://fr.wikipedia.org/wiki/Bukittinggi -
Photo : Philippe FOUCHARD (Marché couvert de
Bukinttiggi)